Sabtu, 04 Juni 2011

Pengembangan Pendidikan Agama Islam Melalui Hubungan Bilateral RI - Maroko


Indonesia, salah satu Negara muslim yang berada diwilayah asia tenggara. Sedangkan Maroko adalah Negara kerajaan yang berada di wilayah afrika utara atau bagian barat dari benua Afrika yang sering disebut dengan Maghribi (negeri matahari terbenam). Jarak kedua Negara yang melebihi sekitar sepertiga lingkaran dunia tidak menghalangi hubungan kerjasama antara kedua Negara. Maroko sering menyebut Indonesia sebagai "Akh Syaqiq"(Saudara kandung) dikarenakan kedekatan antara kedua Negara.
Secara historis hubungan Indonesia dan Kerajaan Maroko telah terjalin sejak pertengahan abad 14 Masehi. Kabar mengenai kepulauan besar di Asia Tenggara dibawa oleh terkenal dari Maroko Ibnu Battutah. Ia melakukan perjalanan panjang dari Maroko menuju Mesir, India sampai akhirnya tiba di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh yang pada waktu itu merupakan pelabuhan utama perdagangan di Indonesia.
Selain itu, ada pula kisah Maulana Malik Ibrahim salah satu sesepuh Wali Songo yang lebih dikenal dengan nama “Syeikh Maghribi” adalah orang Maroko yang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang. Dengan kepiawannya, ia mampu memikat hati warga Indonesia yang akhirnya berduyun-duyun memeluk Islam.
Kunjungan kedua tokoh tersebut, Ibnu Batuttah dan Maulana Malik Ibrahim merupakan tonggak sejarah yang mengawali jalinan hubungan antara kedua bangsa yang dipisahkan oleh jarak yang cukup lebar.
Selanjutnya pada era 1950-an sejumlah pejuang kemerdekaan yang berasal dari negara Afrika Utara (Maghrib Arab), termasuk Maroko, telah menjadikan Indonesia sebagai tempat pengasingan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari kolonial Perancis. Sampai KTT Asia Afrika di Bandung tahun 1955, pejuang kemerdekaan Maroko Alal Fassi dengan gigih menyuarakan kepentingan Maroko dan negara-negara Afrika Utara lainnya guna meraih kemerdekaan yang akhirnya terjadi pada tanggal 2 Maret 1956.
Sebagai pengakuan atas kemerdekaan tersebut, Deplu RI mengirim misi khusus untuk mempersiapkan kunjungan Preiden Soekarno ke Maroko pada bulan Mei 1960. Misi khusus yang diketuai Duta Besar RI di Manila, Mohammad Nasir Datuk Pamoentjak tersebut mendarat di bandara Sale di Rabat tanggal 18 April 1960. Beliau diterima Menlu Maroko Abdullah Ibrahim. Kemudian menyerahkan surat-surat kepercayaan sebagai Duta Besar RI dalam misi khusus kepada Raja Maroko, Muhammad V, yang menandai awal dibukanya hubungan diplomatik RI dan Kerajaan Maroko yang ditandai dengan dibukanya Kantor Kedutaan Besar RI di Rabat.
Selanjutnya, Presiden Soekarno dan 16 anggota rombongan tiba di Rabat tanggal 2 Mei 1960 pukul 2.40 siang dengan disambut Raja Muhamad V, Putera Mahkota Moulay Hassan, Perdana Menteri/Menlu Abdullah Ibrahim, para menteri dan pembesar Maroko, sipil dan militer dan korps diplomatik. Kunjungan kenegaraan Presiden Pertama RI Soekarno ke Maroko tercatat sebagai kunjungan kepala negara asing pertama di dunia ke Maroko pasca kemerdekaan.
Kunjungan tersebut mendapat sambutan hangat dari Raja Mohammed V dan rakyat Maroko. Presiden Soekarno dianggap sebagai Pemimpin Revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Kunjungan Presiden Soekarno ini merupakan catatan sejarah penting yang menunjukkan kedekatan antara kedua negara.
Memasuki kota Rabat, Presiden Soekarno didampingi Raja Mohammad V meresmikan ruas jalan bernama Sharia Al-Rais Ahmed Sukarno (sekarang Rue Soekarno), dekat kantor Pos Pusat Rabat. Sebelum rombongan Presiden Sukarno tiba, sebuah jalan lain di tengah kota ditukar namanya menjadi zangkat Jakarta. Di Casablanca, sebuah bunderan diberi nama rondpoint de Bandung. Sedangkan di Indonesia Casablanca, kota perdagangan dan kota pelabuhan di Maroko oleh Bung Karno digunakan sebagai salah satu nama jalan terpadat yang menjadi sister city kota Jakarta.
Dalam jamuan makan malam tanggal 3 Mei 1960 di Istana Dar-es-Salaam, Raja Mohammad V menggelari Presiden Soekarno sebagai pahlawan kemerdekaan dunia Islam dan seorang pemimpin perjuangan Indonesia tangguh yang diharapkan mampu mempererat kerjasama antar negara-negara Asia dan Afrika. Raja Mohammad V menganugrahkan Bintang Mahkota (Orde du Trone) kepada Presiden Soekarno, dan sebaliknya Presiden Soekarno menganugrahkan Bintang Sakti kepada Raja.
Dari kunjungan tersebut hubungan antara Indonesia dengan Maroko semakin erat. Awal sejarah hubungan bilateral Indonesia dan Maroko merupakan upaya perkembangan agama islam hingga mengarah ke bidang-bidang lain seperti politik dan ekonomi. Sehingga perkembangan agama islam tetap melandasi hubungan tersebut hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh wakil Menteri Luar Negeri Maroko Latifa Akherbach menilai Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar dan menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, Islam dapat berjalan beriringan. Sehingga Maroko ingin belajar islam dari Indonesia lebih dalam. Hal itu disampaikan Latifa Akherbach dalam sebuah wawancara, sehubungan dengan digelarnya resepsi peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia- Maroko yang diadakan di Wisma Duta, Rabat.
Latifa mengemukakan Indonesia sebagai negara Muslim dengan penduduk terbesar dapat menyatukan nilai Islam, demokrasi dan modernisasi, sehingga Maroko menilai Indonesia merupakan negara penting untuk menjalin kerja sama dalam menghadapi tantangan dan krisis global serta Islamofobia yang makin meningkat. Peningkatan Islamfobia di dunia internasional dinilai terjadi karena penggunaan nama agama Islam dalam berbagai tindakan yang merugikan masyarakat seperti terorisme maupun pengeboman yang sedang santer diberitakan saat ini.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi tidak terlepas dari pengaruh di sekelilingnya. Seringkali acara keagamaan dikembangkan dengan ajaran agama yang disesuaikan lingkungan budaya. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat juga merupakan perkembangan pemikiran masyarakat terhadap budayanya. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik karena terbagi menjadi beragam golongan, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Banyak bukti hubungan Indonesia Maroko tidak sekedar hubungan diplomatik, tetapi intelektual dan keagamaan. Misalnya, kitab al-Ajrumiyah, yang dikarang ulama Maroko Syekh Shanhaji itu, sangat akrab dengan kalangan pesantren di Indonesia. Tarekat Tijaniyah yang berpusat di Fes memiliki banyak pengikut di Indonesia. Ciri khas keberagamaan yang moderat, seimbang dan toleran sama-sama berlaku di Maroko dan Indonesia. Banyak hal yang harus dipelajari bersama untuk menguatkan hubungan persahabatan kedua negara untuk memberikan model Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan dunia.
Hubungan bilateral yang telah berjalan selama 50 tahun dengan dilandasi keinginan yang kuat dari kedua pemimpin negara untuk saling membantu menjadi modal dalam menghadapi masalah Islamfobia dan mewujudkan model perkembangan islam modern. Oleh karena itu pada peringatan 50 tahun hubungan bilateral ini akan ditingkatkan dibidang lainnya seperti pariwisata, investasi, pendidikan dan budaya dengan basis sejarah dalam upaya meningkatkan hubungan antarwarga atau "people to people contacts" yang menghasilkan pengertian yang makin besar diantara kedua negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar